Depok, DIRZUS MEDIA – Sejumlah kasus yang melibatkan hakim di Indonesia menjadi perbincangan di masyarakat. Mulai dari kasus korupsi CPO (Crude Palm Oil) hingga lolosnya Nurul Ghufron sebagai calon hakim agung, seorang mantan Wakil Ketua KPK yang pernah dijatuhi sanksi etik.
Tak hanya itu, diketahui terdapat 29 hakim di Indonesia yang terlibat kasus korupsi berupa suap dengan nilai Rp107.999.281.345 sejak 2011-2024, Dilansir Dirzus Media dari Indonesian Corruption Watch (ICW) pada Minggu (27/04/2025).
Di tengah maraknya kasus tindak kejahatan oleh hakim, MA (Mahkamah Agung) melakukan rotasi hakim secara besar-besaran. Sebanyak 199 hakim dan 68 panitera dipindahtugaskan. Penetapan rotasi hakim ini diduga sebagai tindak lanjut MA atas sederet kasus yang melibatkan hakim di Indonesia.
Rotasi hakim mungkin dapat menjadi solusi dalam membenahi sistem peradilan di Indonesia. Namun, benarkah langkah ini efektif? Integritas hakim perlu dipertanyakan kembali. Bukan hanya rotasi besar-besaran, sistem peradilan di Indonesia juga perlu dievaluasi secara menyeluruh.
Bibit Oligarki Dalam Kasus Korupsi CPO
Petugas membawa Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (tengah) menuju mobil tahanan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Kejaksaan Agung, Jakarta, Sabtu (12/4/2025). (Foto: ANTARA/Reno Esnir/app/wpa/aa)
Empat hakim dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus korupsi CPO (Crude Palm Oil). Keempat hakim tersebut, yaitu Arif Nuryanta, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Ironisnya, salah satu di antara empat hakim tersangka korupsi tersebut merupakan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Mereka diduga menerima sejumlah uang untuk mengeluarkan putusan lepas dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO (Crude Palm Oil). Kasus ini melibatkan tiga perusahaan sawit, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Kasus korupsi CPO ini mendapat perhatian dari ICW (Indonesian Corruption Watch). ICW menilai kasus korupsi CPO sebagai contoh bobroknya institusi peradilan di Indonesia. ICW turut memberikan sejumlah catatan kritis terhadap kasus korupsi dengan nilai mencapai Rp60 miliar tersebut.
Poin pertama yang menjadi catatan ICW, Mahkamah Agung perlu melakukan pembenahan internal secara menyeluruh. Praktik jual beli vonis yang dilakukan oleh hakim PN Jakarta Selatan mengindikasikan adanya bahaya mafia peradilan.
Mahkamah Agung dituntut untuk melakukan pemetaan terhadap potensi korupsi dalam peradilan. Tentunya, langkah ini perlu menggandeng lembaga terkait, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan masyarakat sipil. Selain itu, pengawasan dan penerimaan hakim juga perlu diperketat.
Kemudian, poin kedua yang menjadi perhatian ICW yaitu terkait dugaan oligarki. Lolosnya sejumlah korporasi dalam melegalkan korupsi di ranah peradilan Indonesia membuktikan kekuatan dan kekuasaan dalam mengendalikan sejumlah pejabat pemerintahan.
Izin operasi bisnis, pajak yang tak kunjung terbayar, hingga kebijakan yang melanggengkan kekuasaan akibat praktik siap yang mudah perlu diberantas. Tata kelola industri sawit perlu dikaji dari hulu hingga ke hilir.
Selanjutnya, poin terakhir yang menjadi catatan kritis ICW, yaitu penguatan hukum Indonesia terhadap tindak pidana korupsi. Berdasarkan pemantauan ICW, 252 pengusaha atau swasta menjalani persidangan kasus korupsi pada tahun 2023.
Selain itu, di tahun yang sama, dari total 898 terdakwa, pengadilan negeri mendakwa 3 korporasi. Pada tingkat pengadilan tinggi, diketahui terdapat 6 korporasi yang disidangkan akibat kasus korupsi yang menjerat mereka.
Sayangnya, hukum di Indonesia belum cukup kuat untuk memberantas korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Perlu adanya undang-undang yang mengatur dengan lebih jelas, lugas, dan terperinci dalam memidanakan korporasi yang terlibat kasus korupsi.
Cacat Regulasi Penerimaan Hakim Di Indonesia
Suasana Sidang Kode Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang digelar di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta Selatan, Jumat (6/9/2023).(Foto: ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat/aa)
Selain kasus korupsi CPO, integritas hakim di Indonesia juga dipertanyakan dengan lolosnya Nurul Ghufron sebagai hakim agung di Indonesia. Hal ini tercantum dalam pengumuman lolos seleksi administrasi Komisi Yudisial pada 15 April 2025.
Nama Nurul Ghufron dinyatakan sebagai salah satu dari 69 calon hakim agung yang akan ditempatkan di kamar pidana. Namun, lolosnya Nurul Ghufron dianggap sebagai penurunan kualitas dalam seleksi penerimaan hakim di Indonesia.
Pasalnya, Nurul Ghufron merupakan mantan Wakil Ketua KPK yang pernah terlibat kasus integritas. Ia terbukti melakukan intervensi atas kepentingan pribadi dalam mutasi pegawai di Kementerian Pertanian RI. Atas kasus tersebut, Nurul Ghufron dijatuhi sanksi etik.
Penyeleksian penerimaan hakim agung sudah sepatutnya dilakukan dengan cermat. Setiap calon hakim agung yang mendaftar perlu diketahui latar belakangnya dan seharusnya tidak pernah terlibat kasus pelanggaran hukum di Indonesia. Terlebih mengenai penyalahgunaan kekuasaan.
Sebagai pengadilan tertinggi, Mahkamah Agung juga berfungsi untuk mengawasi lembaga peradilan di bawahnya. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya calon hakim agung terlepas dari potensi konflik kepentingan yang dapat mengganggu independensinya.
Kecacatan regulasi dalam penyeleksian calon hakim agung ini terlihat dalam Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2025, Pasal 6 Ayat 2 mengenai persyaratan administrasi calon hakim agung nonkarier. Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa syarat calon hakim agung hanya terlibat dari sanksi disiplin, bukan sanksi etik.
Hal inilah yang kemudian meloloskan Nurul Ghufron dalam proses seleksi calon hakim agung. Sebab Nurul Ghufron hanya dijatuhkan sanksi etik dalam kasusnya, tetapi tidak mendapatkan sanksi disiplin. Atas kecacatan dalam penyeleksian ini, ICW mendesak Komisi Yudisial untuk segera melakukan tindakan.
Terdapat empat tuntutan ICW terhadap Komisi Yudisial. Yang pertama, ICW meminta penolakan Nurul Ghufron sebagai calon hakim agung. Kemudian, ICW juga meminta Komisi Yudisial untuk meninjau kembali latar belakang integritas calon lain yang sudah lolos dalam proses administrasi.
Yang ketiga, Komisi Yudisial didesak untuk segera memperbaiki Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2025. Dalam peraturan tersebut, Komisi Yudisial harus mencantumkan syarat administrasi mengenai pelanggaran etik bagi para calon.
Terakhir, ICW juga meminta transparansi Komisi Yudisial terhadap publik. Dalam proses penyeleksian dan penerimaan hakim, Komisi Yudisial harus kanal informasi yang dapat diakses publik. Sehingga publik dapat berpartisipasi dalam mengawas penerimaan hakim di Indonesia.
Hakim berperan penting dalam menegakkan hukum di Indonesia. Integritas adalah landasan sikap yang perlu dimiliki seorang hakim. Rotasi hakim bukan solusi utama. Penguatan hukum dan regulasi dalam penerimaan hakim juga perlu dievaluasi secara besar-besaran. (Debby AM)