Satgas PHK: Omong Kosong Pemerintah

Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja Karyawan (Foto: Freepik.com)


Depok, DIRZUS MEDIA – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara masif menerpa industri di Indonesia. Baru-baru ini, Kompas TV memberhentikan 150 karyawan dan menghapus program “Kompas Sport Pagi” yang sudah berlangsung selama 12 tahun. 


Tak hanya Kompas TV, terdapat 18.610 tenaga kerja ter-PHK dalam kurun waktu Januari - Februari 2025, dilansir Dirzus Media dari laman Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan pada Minggu, (04/05/2025). 


Peristiwa ini tentu bertentangan dengan pernyataan Prabowo saat hari buruh. Dalam pidatonya, beliau menegaskan negara akan turun tangan dalam menangani masalah PHK dan segera membentuk satuan tugas PHK (satgas PHK). 


Namun, hingga kini belum ada kejelasan mengenai pembentukan satgas PHK tersebut. Sementara, angka karyawan yang ter-PHK di Indonesia semakin tinggi dan hal ini memiliki risiko yang tinggi terhadap perekonomian Indonesia.



Dampak PHK: Ancaman Krisis Ekonomi 

Ilustrasi Krisis Ekonomi (Foto: Freepik.com)


Selain peningkatan jumlah pengangguran, PHK juga berdampak terhadap penurunan daya beli masyarakat. Semakin banyak karyawan yang ter-PHK, maka semakin banyak juga jumlah orang yang tidak berpenghasilan di Indonesia. 


Tanpa adanya pemasukan, masyarakat akan sulit melakukan transaksi keuangan, sehingga daya beli pun tak setinggi biasanya. Hal ini tentu mengancam sejumlah bisnis di Indonesia akibat konsumen yang menurun drastis. 


Selain itu, PHK yang dilakukan secara masif turut berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang kehilangan konsumennya tentu akan mengambil langkah strategis berupa efisiensi produksi untuk menghindari produk-produk yang terbuang karena tak terjual. 


Akibatnya jumlah produksi di Indonesia menurun dan kelangkaan kebutuhan barang dan jasa pun tak dapat terhindarkan. Masyarakat yang masih membutuhkan barang dan jasa tersebut akan mengalami kesulitan. 


Sepinya konsumen dan produksi perusahaan yang semakin anjlok tentu membuat sejumlah investor berpikir dia kali untuk menanamkan modalnya. Investor akan menilai efektivitas dan kinerja perusahaan. 


Hal tersebut dilakukan untuk memperkirakan untung dan rugi yang akan didapat bila menanamkan modal di perusahaan tersebut. Jika nilai produksi perusahaan rendah, maka kemungkinan keuntungannya juga rendah dan kemungkinan ruginya akan semakin tinggi. 


Dengan situasi tersebut, perusahaan semakin tertekan. Tak hanya kehilangan konsumen, perusahaan juga kehilangan investor. Pemasukan tertutup dari segala sisi. Sehingga, perusahaan terancam bangkrut. 


PHK dan bangkrut nya sejumlah industri tentu akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi negara. Masyarakat dan perusahaan yang kehilangan pemasukan tentu akan lebih sulit membayar pajak. 


Hutang terhadap pajak negara semakin membengkak dan pemasukan dari pajak untuk pembangunan semakin kecil. Tak hanya berdampak pada kehidupan pribadi, nyatanya PHK dapat berujung pada lambatnya pembangunan negara. 


Kekacauan Regulasi Pemerintah Dalam Sistem PHK

Aktivitas kerja karyawan PT Sritex sebelum berhenti beroperasi karena pailit (Foto:laman resmi PT Sritex)


Pemerintah masih belum bergerak. Janji-janji yang diucapkan untuk mensejahterakan rakyat belum terpenuhi. Regulasi terkait sistem PHK di Indonesia harus segera diperbaiki. 


Sebab, sumber kekacauan dari PHK massal ini adalah pemerintah. Kekacauan sistem PHK di Indonesia sudah berlangsung jauh dari kasus PHK massal Kompas TV. 


Sebelumnya, PT Sritex Indonesia resmi berhenti beroperasi di Indonesia per 1 Maret 2025. PT Sritex terpaksa melakukan PHK terhadap ribuan karyawannya karena divonis pailit. 


PHK massal ini ternyata terjadi akibat cacat peraturan pemerintah. Pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024, disebutkan bahwa persyaratan persetujuan teknis untuk produk impor barang jadi dihapuskan. 


Hal ini tentu membuat produk impor bebas berkeliaran di Indonesia. Sehingga produk-produk dalam negeri pun kalah saing. Produk tekstil lokal tak mampu bersaing dengan produk impor yang jauh lebih murah. 


“Akibat peraturan tersebut, impor tekstil ke Indonesia meningkat drastis, dari 136.360 ton pada April 2024 menjadi 194.870 ton pada Mei 2024. Hal ini menyebabkan produk tekstil lokal tidak mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah,” jelas Tadjuddin Noer Effendi, Pakar Ketenagakerjaan UGM, dilansir Dirzus Media dari Universitas Gadjah Mada pada Minggu, (04/05/2025). 


Masyarakat yang terdampak PHK massal, kemungkinan besar akan beralih pada sektor kerja informal untuk bertahan hidup. Sayangnya, regulasi mengenai pekerjaan informal di Indonesia masih menggantung. 


Masyarakat yang bekerja di sektor informal sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Mulai dari kekerasan, hingga tidak terpenuhinya hak-hak dalam bekerja. 


Pemerintah harus segera bertindak. Program bantuan sosial akan sangat menolong masyarakat yang ter-PHK. Bantuan sosial ini dapat berupa program jaminan kehilangan pekerjaan, jaminan hari tua, dan berbagai bantuan sosial lain untuk memastikan kesejahteraan korban PHK. 


Lapangan pekerjaan untuk masyarakat Indonesia juga harus dibuka selebar-lebarnya. Pemerintah harus memastikan kesejahteraan rakyatnya lebih dulu dibanding membuka kesempatan kerja untuk investor asing. 


“Pemerintah harus menciptakan peluang kerja dengan melakukan investasi besar-besaran di sektor padat karya, seperti industri tekstil dan garmen. Dengan begitu, akan ada lebih banyak lapangan pekerjaan yang tersedia,” tegas Tadjuddin. 


Bantuan sosial saja tak cukup. Akar dari permasalahan PHK di Indonesia adalah regulasi yang menggantung. Pemerintah tak boleh setengah-setengah dalam membuat kebijakan yang menaungi nasib ribuan orang di negeri ini. (Debby AM)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama