Krisis Kebebasan Berekspresi, Reformasi Mati Suri



 Krisis Kebebasan Berekspresi, Reformasi Mati Sur

Ilustrasi Pembungkaman Kebebasan Berekspresi (Foto: Freepik.com)


Depok, DIRZUS MEDIA – Daftar gelap kasus intimidasi Pemerintahan Prabowo semakin melonjak. Teror bangkai, penarikan lagu, penangkapan mahasiswa, hingga tuntutan klarifikasi permintaan maaf terhadap korban yang tak bersalah marak terjadi. 


Baru-baru ini, peristiwa serupa kembali terulang. Opini bertajuk "Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?" terpaksa dihapus pada laman Detik.com. Hal ini lantaran penulis mengaku mendapatkan intimidasi yang mengancam keselamatan pribadinya tak lama setelah opini tersebut diterbitkan. 


“AJI mengecam tindakan teror yang dialami oleh YF. Tindakan ini merupakan bentuk nyata pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi dan UU Pers No 40/1999,” tutur Nany Afrida, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dilansir Dirzus Media dari AJI Indonesia pada Senin, (26/05/2025). 


AJI mengecam segala bentuk tindak represif terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat pada masyarakat. Komitmen Prabowo dalam menjaga demokrasi kembali dipertanyakan. Kasus intimidasi terhadap kebebasan berekspresi mesti diusut tuntas. 


“Ketika satu suara dibungkam, maka yang terancam bukan hanya orang itu, tetapi kita semua,” tegas Nany. 


Dewan Pers Mengecam Intimidasi Terhadap Kebebasan Berekspresi

Siaran Pers Dewan Pers Terkait Pencabuta Opini di Detik.com (Foto: Dewan Pers)


Penarikan artikel opini pada laman Detik.com tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Artikel tersebut memuat kritik tajam mengenai jabatan sipil yang diisi oleh Jenderal dan sistem merit dalam Aparatur Sipil Negara (ASN). 


Penulis berinisial YF mengaku mendapatkan intimidasi setelah artikel opini tersebut terbit pada 22 Mei 2025. YF kemudian meminta redaksi Detik.com untuk menghapus artikelnya dan melaporkan peristiwa ini kepada Dewan Pers guna memperoleh perlindungan dan keamanan. 


Insiden ini mendapat perhatian khusus oleh Dewan Pers. Dewan Pers menghormati Redaksi Detik.com untuk melakukan pencabutan artikel demi melindungi keselamatan penulis, dengan catatan setiap pemberitaan yang dicabut harus disertai dengan alasan yang jelas dan transparan. 


Melalui pernyataan resminya di kanal Dewan Pers pada 24 Mei 2025, Dewan Pers memberikan sejumlah tanggapannya terhadap kasus ini. Terdapat 5 poin catatan yang disampaikan oleh Dewan Pers. 


Dewan Pers mengaku belum memberikan saran atau rekomendasi terhadap redaksi Detik.com untuk melakukan pencabutan artikel opini tersebut. Namun, laporan dari penulis tengah diverifikasi dan dipelajari oleh Dewan Pers. 


Kemudian, Dewan Pers menghargai, menjunjung tinggi, dan kebebasan dan kemerdekaan pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Lembaga yang menaungi pers Indonesia ini mengecam tindakan intimidasi yang dialami oleh penulis opini di Detik.com.


“Kami mendesak semua pihak menghormati dan menjaga ruang demokrasi dan melindungi suara kritis dari warga, termasuk mahasiswa,” tulis Dewan Pers, dilansir Dirzus Media dari Dewan Pers pada Senin, (26/05/2025). 


Menurut Dewan Pers, penghapusan artikel opini atas permintaan penulis merupakan hal yang harus dihormati oleh redaksi. Selain itu, dalam pernyataan resminya Dewan Pers juga mengimbau seluruh pihak untuk menghormati ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat di masyarakat. 


“Dewan Pers mengimbau semua pihak untuk menghargai dan menghormati ruang berekspresi dan berpendapat atas sebuah kebijakan penyelenggaraan negara. Dewan Pers juga mengimbau kepada semua pihak untuk menghindari penggunaan kekerasan serta tindakan main hakim sendiri,” tulis Dewan Pers. 


AJI: Pola-Pola Represi Orde Baru

Pencabutan Artikel Opini Pada Kanal Detik.com (Foto: Detik.com)


Selain Dewan Pers, insiden intimidasi terhadap kolumnis Detik.com juga mendapatkan perhatian oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. AJI menyatakan insiden ini kembali mengancam ruang aman dalam berekspresi dan berpendapat di Indonesia. 


Menurut AJI, insiden ini merupakan sebuah pola sistematis untuk mengancam masyarakat sehingga merasa takut untuk melawan,mengkritisi, dan membuka suara terhadap kebijakan pemerintah. 


“Ini juga dialami narasumber dan penulis opini yang menyuarakan kritik terhadap kekuasaan atau kebijakan publik. Pola ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk menciptakan efek gentar (chilling effect), agar masyarakat takut menyampaikan pendapat dan media enggan membuka ruang bagi suara-suara kritis,” ujar Nany.


Pencabutan artikel opini pada Detik.com bukan kasus pertama pengbungkaman di era Pemerintahan Prabowo. Penarikan lagu “bayar, bayar, bayar” oleh Band Sukatani, klarifikasi permintaan maaf oleh Siswa Bogor yang mengkritisi program MBG, hingga penangkapan Mahasiswi ITB lantaran membuat meme Jokowi merupakan contoh tindak represif terhadap kebebasan bersuara. 


Pola ini mirip dengan orde Baru. Di mana kebebasan berekspresi dan berpendapat masih sangat minum, dan negara dikuasai oleh pemimpin otoriter yang menahan rakyat untuk melawan. 


Atas dasar tersebut, AJI mendesak beberapa pihak untuk mengambil langkah dalam menegakkan kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang publik. Terdapat 5 tuntutan yang didesak oleh AJI. 


Pertama, AJI meminta Detik.com untuk mengambil sikap tegas dan melindungi penulisnya. Detik.com didorong untuk melaporkan insiden ini ke pihak kepolisian dan memberikan perlindungan hukum kepada kolumnisnya. 


Kedua, AJI meminta Dewan Pers untuk tegas dalam memberikan peringatan terhadap perusahaan media yang dinaunginya. Perusahaan media harus mampu melindungi narasumbernya sebagai bentuk kemerdekaan Pers. 


Ketiga, AJI mendesak Komnas HAM untuk menginvestigasi kasus ini. Komnas HAM juga dituntut untuk memberikan perlindungan terhadap kolumnis Detik.com tersebut. 


Keempat, AJI mendesak aparat penegak hukum, khususnya Kapolri dan Kepolisian untuk mengusut tuntas kasus teror dan intimidasi yang dialami oleh kolumnis Detik.com.


Terakhir, AJI meminta pertanggungjawaban Presiden Prabowo atas komitmennya terhadap demokrasi. AJI juga mendesak Prabowo untuk menarik kembali tentara yang menduduki jabatan sipil. 


Ruang ekspresi di Indonesia adalah milik bersama. Pilar Demokrasi ini perlu dijaga oleh setiap elemen negara. Masyarakat, pemerintah, dan aparat penegak hukum perlu bekerja bersama menjaga reformasi negeri ini. (Debby Alifah Maulida) 


1 Komentar

  1. Ga kritis dianggap ga peduli kritis kita yang ga aman

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama