Hasil Panen Petani Dalam Negeri (Foto: Perum Bulog)
Depok, DIRZUS MEDIA – Perum Bulog berhasil melampaui stok cadangan beras pemerintah (CBP) hingga 3,6 juta ton pada awal Mei 2025. Dari stok tersebut, lebih dari 2,1 juta ton gabah dan beras dapat diserap oleh pemerintah. Penyerapan hasil panen petani terus dilakukan guna memastikan harga gabah dan beras menguntungkan petani.
“Sesuai dengan penugasan pemerintah, kami membeli gabah kering panen dari petani dengan harga Rp 6.500,-/kg. Melalui Tim Jemput Gabah Perum BULOG, bekerjasama dengan penyuluh pertanian dan Babinsa di lapangan, kami pastikan Bulog terus melakukan penyerapan sampai seluruh gudang penuh,” ujar Prihasto Setyanto, Direktur Pengadaan Perum BULOG, dilansir Dirzus Media dari Perum Bulog pada Senin, (19/05/2025).
Perum Bulog menyatakan, penyerapan hasil panen akan dilakukan melalui petani langsung dan bekerjasama dengan para penggilingan padi di seluruh Indonesia. Namun, langkah ini tidak cukup strategis untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan petani daerah, khususnya petani dengan skala kecil.
Badan Pusat Statistik mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) yang menjadi indikator kesejahteraan petani sebesar 121,06 atau turun 2,15 % pada April 2025. Hal ini tentu menjadi pertanyaan, di tengah panen raya besar-besaran, mengapa tingkat kesejahteraan petani menurun?
Indikator kesejahteraan Petani Menurun Di Tengah Panen Raya Bulog
Perkembangan Nilai Tukar Petani dan Harga Beras Bulan April 2025 (Foto:Badan Pusat Statistik)
Panen raya seharusnya dapat menjadi momentum yang ditunggu oleh para petani. Hasil panen yang melimpah dan dapat diolah dengan baik merupakan keuntungan besar bagi para petani lokal.
Kabar peningkatan produksi Bulog pada awal Mei semestinya disambut baik oleh petani. Sebab, Perum Bulog menyatakan akan terus menyerap hasil panen petani dengan membeli gabah dari petani langsung.
Dengan begitu, petani akan mendapatkan keuntungan yang besar dari hasil panen yang diserap oleh Perum Bulog. Namun, data yang tersaji dalam Badan Pusat Statistik (BPS) justru menunjukkan fakta sebaliknya.
Pada 2 Mei 2025, BPS menyajikan data penurunan NTP sebesar 2,5% berdasarkan hasil pemantauan harga-harga pedesaan di 38 Provinsi di Indonesia. Penurunan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor di empat subsektor pertanian.
Subsektor Tanaman Pangan turun sebesar 2,24 persen, Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat turun sebesar 4,07 persen, Subsektor Peternakan turun sebesar 0,96 persen, dan Subsektor Perikanan turun sebesar 0,43 persen.
Selain itu, penurunan NTP juga disebabkan oleh meningkatkan indeks harga yang harus dibayar petani (Ib). Pada April 2025, Indeks harga yang harus dibayar petani naik 0,82%, yaitu dari 123,05 menjadi 124,07. Angka tersebut menunjukkan harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh petani mengalami kenaikan.
Sementara, indeks harga yang diterima petani (It) mengalami penurunan. Pada April 2025, indeks harga yang diterima oleh petani turun sebesar 1,35 %, yaitu dari 152,24 menjadi 150,19. Angka ini menunjukkan pendapatan yang diterima petani dari hasil panen menurun.
Harga yang harus dibayar oleh petani jauh lebih tinggi dibanding harga yang diterima oleh petani. Petani harus mengeluarkan dana yang lebih besar untuk membeli kebutuhan barang dan jasa, sedangkan pendapatan bersih yang dimiliki oleh petani menurun. Hal ini menyebabkan para petani kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Penurunan kesejahteraan petani juga dapat dilihat dari harga beras premium yang juga mengalami penurunan. Dalam kurun waktu yang sama, harga beras premium di penggilingan turun sebesar 1,21%. Penurunan harga ini tentu mengakibatkan pemasukan yang diterima oleh petani semakin kecil.
Padahal, tanpa adanya penurunan pun upah petani sudah jauh dari ambang batas seharusnya. Petani dengan skala kecil dengan lahan dan sumber daya terbatas memiliki penghasilan yang jauh lebih rendah dengan petani skala besar.
Berdasarkan Hasil Survei Ekonomi Pertanian (SEP) 2024, terdapat kesenjangan pendapatan bersih yang cukup besar antara petani skala kecil dan petani skala besar. Petani skala kecil hanya mampu menghasilkan Rp 5.909.429 dalam satu tahun. Sementara, petani dengan skala besar mampu menghasilkan Rp 80.752.908 per tahunnya.
Data-data yang disajikan oleh BPS tersebut sudah menunjukkan kondisi petani Indonesia yang belum merata. Kenaikan produksi Bulog bukan kabar baik untuk seluruh petani di Indonesia. Kenyataannya, petani dengan skala kecil masih belum mencapai tingkat kesejahteraan yang layak.
Pemerintah Nilai Untung Petani Lewat Tingginya Produksi Bulog
Stok Cadangan Beras Pemerintah (Foto: Perum Bulog)
Data penurunan kesejahteraan petani dibantah dengan pernyataan pemerintah dalam publikasinya melalui laman resmi Perum Bulog. Pemerintah menilai hasil produksi Bulog yang kian melambung tinggi akan menguntungkan petani dan masyarakat.
Pemerintah menyatakan hasil produksi Bulog menunjukkan komitmen Bulog dalam mendukung petani dan menjaga ketahanan pangan nasional. Bulog akan tetap melanjutkan penyerapan hasil pangan petani secara optimal dan berkomitmen untuk menjaga ketersediaan beras bagi masyarakat.
Namun, pemerintah juga harus berhati-hati dalam hasil panen raya yang melonjak tinggi. Sebab, peningkatan jumlah hasil panen yang tidak dibersamai dengan penjagaan kualitas dan mutu beras akan mengakibatkan kerugian yang cukup besar.
Meski begitu, pemerintah berjanji akan melakukan pengawasan ketat di gudang untuk menjaga kualitas stok beras. Prihasto, Direktur Pengadaan Perum Bulog mengungkapkan setiap beras yang masuk ke gudang wajib melewati proses pemeriksaan kualitas secara menyeluruh.
“Setiap beras yang masuk telah melalui proses uji kualitas yang melibatkan pihak ketiga independen, sehingga kualitasnya sesuai dengan standar yang ditetapkan,” tutur Prihasto.
Pemeriksaan tersebut melibatkan surveyor independen untuk menjamin transparansi dan akurasi standar mutu. Selain itu, Bulog menyatakan proses pemeriksaan kualitas beras tak hanya dilakukan di awal saja, tetapi Bulog akan melakukan perawatan secara berkala terhadap stok beras di gudang.
“Kami memiliki mekanisme perawatan rutin terhadap komoditas yang disimpan, sehingga mutu beras tetap terjaga dengan baik hingga waktu distribusi,” tegas Prihasto.
Perum Bulog menyatakan, langkah ini merupakan tindakan yang diambil oleh Bulog guna menjaga kepercayaan publik dan memastikan ketersediaan beras untuk masyarakat. Bulog juga berkomitmen untuk memastikan stabilitas harga pangan di Indonesia.
Peningkatan produksi dan kualitas Bulog merupakan kabar baik untuk sektor pangan di Indonesia. Namun, pemerintah tak dapat menilai kesejahteraan petani hanya dari tingginya angka produksi. Pemerintah harus melihat jauh ke bawah, bagaimana petani mampu atau tidak bertahan hidup dalam fluktuasi harga barang dan jasa yang kian tak menentu. (Debby Alifah Maulida)